“Bhineka Nara Eka Bhakti”
“Praja”
“Siapa Kita?”
“Abdi Negara”
“Siapa Kita?”
“Abdi Masyarakat”
“Mini Retret Gorontalo Utara 2025”
“Disiplin, Bersih, Produktif, Sinergis, Bercahaya”
Gemuruh tepukan tangan terdengar setelah yel-yel menggema bersahutan di Taman Rakyat. Ketika matahari mulai condong ke Barat, Kamis 3 Juli sebuah orientasi bagi pejabat Gorontalo Utara yang mungkin saja tidak pernah terbayangkan sebelumnya, dimulai. Mini Retret Pejabat Esalon IIb dan IIIa Kabupaten Gorontalo Utara Tahun 2025.
Dilihat dari asal kata, retret berasal dari bahasa Latin: “re-” berarti kembali atau mundur dan “trahere” berarti menarik. Gabungan keduanya membentuk kata Latin “retrahere”, yang kemudian berkembang menjadi “retreat” dalam bahasa Inggris, dan dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai retret.
Dalam konteks kepemimpinan atau pemerintahan retret digunakan sebagai sarana pemurnian nilai kepemimpinan, penyelarasan visi, dan penguatan komitmen moral.
Misalnya Retret Kepala Daerah (RKD) yang difasilitasi Kementrian Dalam Negeri dan viral belakangan ini menegaskan makna bahwa retret diselenggarakan untuk meningkatkan kapasitas dan pemahaman pemimpin daerah, penyelarasan visi misi nasioanal serta mempererat kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah.
Penegasan makna ini disampaikan pula Presiden Prabowo saat penutupan RKD dengan pengarahan yang menekankan pentingnya kekompakan, hilirisasi, industrialisasi, serta semangat patriotisme dan nasionalisme sebagai kunci percepatan pembangunan daerah dan kemakmuran rakyat selain memaparkan konsep Asta Cita yang menjadi arah pembangunan nasional.
Mini Retret, Visi Nasional dan Vision of God (sebuah coretan pinggir)
Ide brilian Bupati Gorontalo Utara menindaklanjuti hasil RKD dalam skala lokal dengan sebutan Mini Retret, memiliki nilai dan tujuan yang sama dengan RKD nasional. Bahkan bagi saya, lebih dari itu, kegiatan ini menjadi langkah strategis dan reflektif yang memiliki makna transendental serta kontekstual khususnya di Kabupaten Gorontalo Utara.
Mengapa demikian? Karena kegiatan ini tidak hanya menjadi bentuk internalisasi nilai dan hasil RKD berupa wujud penyelarasan antara visi nasional dan daerah, tapi juga masuk dalam kerangka transformasi birokrasi, dengan vision of God—visi ketuhanan yang menjiwai lahirnya Pemerintahan Bercahaya.
Dari sudut inilah terlihat perbedaan dan asiknya ide mini retret Gorontalo Utara dilakukan. Materi dan konsep kegiatan yang dilaksanakan tidak hanya berorientasi pada hasil administratif, melainkan juga memperkuat kesadaran spiritual dan membentuk karakter pemerintahan lokal.
Di sinilah konsep Vision of God menjadi relevan dan mulai dibumikan bahwa tugas sebagai aparatur bukan hanya bersifat teknokratis, tetapi juga tanggung jawab moral. Aparatur tidak hanya abdi negara, tetapi juga abdi rakyat yang berpihak dan melayani kebutuhan rakyat, serta abdi Tuhan yang bekerja dengan integritas dan pengabdian.
Dalam kajian teologis konsep pengabdian ini adalah melayani rakyat sebagai amanah dari Tuhan dan manifestasi dari ketakwaan serta integritas moral yang paling utama.
Sehingga mini retret bukan saja bentuk nyata dari komitmen daerah terhadap visi dan program nasional tapi juga bentuk kerja nyata Pemerintah Gorontalo Utara yang mampu membaca dan melanjutkannya secara progresif dalam kerangka Visi dan Lima Cita Pemerintahan Bercahaya—yakni membangun sistem pemerintahan yang disipilin, bersih, produktif, sinergis, serta Bercahaya (Berdaya saing, CERIA dan Sejahtera).
Dengan demikian (meski hanya berlangsung singkat), kegiatan ini menjadi narasi penting dalam ikhtiar membangun tata kelola pemerintahan yang tidak hanya efektif, tetapi juga etis. Ini adalah titik temu antara visi dan arah pembangunan nasional, komitmen pemerintah daerah dan suara nurani rakyat Gorontalo Utara yang mengimpikan perubahan.
Ke depan, kita semua bisa berharap kegiatan seperti ini menjadi tradisi intelektual dan spiritual dalam pemerintahan daerah bahkan pemerintahan nasional. Menjadi political will sekaligus policy with soul yang mampu menyalakan cahaya dalam birokrasi dan menghadirkan pelayanan publik yang bukan sekadar kerja cerdas, kerja tuntas, tetapi juga tulus. Robert Greenleaf (1970) dalam esainya “The Servant as Leader” mengambarkan hal ini dengan pemimpin atau pejabat yang melayani. Yang menempatkan kebutuhan orang lain di atas kepentingan pribadi atau jabatan dan terlahir (pemimpin/pejabat) sebagai yang autentik dan berintegritas.
Langkah awal ini bisa menjadi fondasi kuat bagi pemerintah Kabupaten Gorontalo Utara menuju birokrasi modern yang tidak hanya tanggap terhadap tantangan zaman, tetapi juga berakar kuat pada nilai-nilai luhur kebangsaan dan keimanan.
Semoga inisiatif ini menjadi budaya baru dalam mengintegarisikan visi nasional, daerah dan visi Tuhan sebagai jalan ninja pembangunan daerah, serta mampu menginspirasi peningkatan kinerja dan dedikasi ASN dalam mewujudkan Gorontalo Utara yang benar-benar Bercahaya. Wallahu’alam. Dah itu aja!
Penulis: Siswan Ahudulu/Jaringan orang-orang biasa (Ja_robi)









